Tuesday, December 19, 2006

Senyuman untuk Pelangi (Dhika Puspitasari)

Jawapos,Senin, 11 Des 2006,
Senyuman untuk Pelangi
Oleh: Dhika Puspitasari

Langit tampak belum sempurna pagi ini. Sisa tangisan langit, berupa gerimis tipis yang syahdu masih terlihat jelas membiaskan sinar yang mulai menggeliat, menerobos kawanan awan yang berarakan ke utara. Bau embun masih tajam menyengat dan menebarkan perasaan rindu. Entah apa yang dirindukan. Yang pasti, tempat ini begitu asing bagiku, ya sangat asing sekali. Tapi sosok yang duduk di hadapanku ini tak pemah kurasakan asing.Badannya yang dulu tegap kini terkulai lemah bersandar pada sebuah kursi roda yang tampak sangat tua, seolah ingin mengisahkan sejarah yang membuat semua mata menatap iba padanya. Tatapannya kosong, seperti juga harapannya. Perjalanan hidup yang telah dia lewati selalu dihabiskan untuk kebodohan-kebodohan yang tak berarti apa-apa. Namun, setidaknya, dia harus melakukan sesuatu yang berarti meskipun hanya sekali, sebelum kepompong berubah menjadi kupu-kupu, dan gerimis menjadi badai. Sebelum semuanya terlambat.Aku masih duduk tepat di hadapannya, namun tak sekali pun dia memalingkan wajahnya padaku. Tatapannya masih lurus dan kosong memandangi hamparan biru yang luas sebagai rumah malaikat.Tapi... tunggu, aku melihat dia tersenyum. Tepat ketika sebuah pelangi dengan eloknya menari di punggung langit. Sepertinya, ada yang dia isyaratkan melalui senyumannya itu. Tapi apa, entahlah, hanya dia yang tahu."Kenapa tidak kau beritahu saja Seto tentang penyakitmu ini, De?" Lintang berkata dengan serius. "Tidak usah Lin, aku tidak ingin dia jadi khawatir nantinya." Tidak ada jawaban yang diberikan Lintang, dia hanya menghela nafas panjang.Dalam hatinya, dia sangat kecewa pada Seto, yang juga sahabatnya. Lintang tahu tentang apa yang dilakukan Seto selama ini. Sebagai kekasih Dea, Seto tidak menghargai komitmen yang telah mereka buat berdua. Seto sering berbohong pada Dea, dia mengatakan tidak dapat bertemu dengan Dea dengan alasan sibuk dengan tugas-tugasnya.Padahal, dia asyik bermesraan dengan Mira di mal atau tempat lainnya. Dan yang paling menyedihkan, sampai saat ini, Seto tak pernah tahu bahwa Dea mengidap penyakit kanker otak, yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. Sungguh masih benarkah Seto menganggap bahwa Dea itu kekasihnya.Sampai saat ini juga, Dea tak pernah berniat untuk memberitahukan penyakitnya ini pada Seto. Sebab, dia tidak ingin Seto menjadi khawatir, nantinya. Dea juga mewanti-wanti Lintang untuk melakukan hal yang sama. Sungguh perasaan yang tulus dari seorang perempuan yang tidak tahu bahwa tak ada balasan setimpal atas perasaannya itu. Lintang pun tak pernah tega untuk memberitahukan pada Dea tentang apa yang dia ketahui, bahwa Seto adalah laki-laki yang tak setia.Lintang pernah hampir berkelahi dengan Seto, ketika dia memergoki Seto bermesraan dengan Mira. Seto tidak terima waktu Lintang mengingatkan bahwa dia kekasih Dea. Sampai kini pun, Lintang tak berani menceritakan peristiwa ini pada Dea.Waktu terus berjalan.Siang itu udara sangat panas, matahari seakan murka dan membakari tiap orang yang ditemuinya. Akhirnya, Lintang menemukan Seto, yang dari pagi dia cari ke mana-mana. Lintang mengabarkan pada Seto bahwa Dea masuk rumah sakit karena penyakitnya bertambah parah. Seto terkejut mendengar berita dari Lintang. Dia tidak mengira kalau Dea mengidap penyakit kanker."Kenapa kamu tidak bilang dari dulu Lin, kalau Dea mengidap kanker?""Aku dilarang sama Dea.""Kenapa?""Dea itu sangat sayang sama kamu. Dia tidak ingin kamu jadi khawatir, nantinya."Seto menangis meraung dipelukan Lintang, dia tampak menyesali perbuatannya pada Dea selama ini. Dia telah mengkhianati perasaan yang tulus dari seseorang yang sangat menyayanginya.Setelah peristiwa itu, sikap Seto pada Dea berubah. Dia dengan setia menemani kekasihnya itu. Apapun yang menjadi permintaan Dea, dikabulkan. Sebab, dia ingin menebus rasa bersalahnya di waktu lalu."To, nanti kalau aku udah nggak ada, aku akan sering-sering senyum buat kamu dari atas sana. Pelangi itu sebagai tandanya, kalau aku lagi senyum buat kamu." Dea berkata sembari menunjuk sebuah pelangi yang hadir pada langit yang basah. Seto tak berkata apa-apa, dia mulai tersedu dan mendekap kekasihnya itu erat-erat.Akhirnya, waktu itu datang juga. 11 Mei 2001, pukul 19.00. Dea telah dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuasa. Penyakit Dea sudah menggerogoti fungsi organ yang lain dan menyebabkan kematian.Sungguh, berita itu membuat orang-orang yang sayang pada Dea bersedih. Seto tak kuasa menahan tangisnya. Dia benar-benar terpukul. Sebab, dia merasa belum cukup menebus kesalahan. Perasaan berdosa selalu mengikutinya, ke mana pun dia melangkah. Berhari-hari, dia berkubang dalam kesedihan tiada akhir."To, kamu tidak bisa seperti ini terus. Sudah satu bulan sejak kematian Dea, kamu mengurung diri di kamar." Lintang mencoba menghibur sahabatnya itu. Tapi, tak ada jawaban dari Seto. Dia bungkam seribu bahasa."Oh ya To, minggu depan aku berangkat ke Belanda. Ayah menyuruhku melanjutkan kuliah di sana. Kamu bagaimana?" tak ada jawaban dari Seto, dia tetap bungkam seribu bahasa. Lintang sangat sedih melihat keadaan sahabatnya itu. Setelah kematian Dea, Seto terus mengurung diri di kamar, menyesali yang sudah dia lakukan dulu. Sore itu menjadi sangat getir sekali, sunyi, senyap, langit berlumuran warna kemerahan.Gerimis tak pernah berhenti sejak pagi, terus membasahi tanah cokelat yang terhampar. Lelaki itu masih diam seribu bahasa. Sejak pagi tadi, dia hanya menatap kosong ke arah langit yang kini mulai dihiasi semburat warna merah keemasan, seperti menunggu sesuatu."Besok aku harus kembali ke Belanda. Sebab, waktu liburku telah habis. Tapi, aku janji akan menemuimu lagi." Lelaki di hadapanku tak menggubris kata-kata yang baru kuucapkan padanya. Dia masih asyik memandangi langit dengan ekspresi yang tawar. Namun... ah... dia tersenyum lagi, tepat ketika sebuah pelangi hadir di antara gerimis dan sinar lembut mentari yang keemasan.Sepertinya, ada yang dia isyaratkan lewat senyumannya itu. Tapi apa, entahlah. Aku beranjak meninggalkannya sendiri dan berjalan sepanjang koridor dengan perasaan hampa.Akhirnya, aku harus sedikit berlari kecil, ketika melewati pintu gerbang Rumah Rehabilitasi Gangguan Jiwa ini menuju mobil. Sebab gerimis mulai berubah menjadi hujan yang semakin lebat. ***Penulis adalah Mahasiswa Universitas Airlangga

1 Comments:

Blogger Sinq said...

This comment has been removed by the author.

4:35 AM  

Post a Comment

<< Home