Tuesday, December 19, 2006

SIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG (YS Rat)

Republika, Minggu, 17 Desember 2006
SIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG
Cerpen YS Rat

Bingung Agam dan Inong begitu tersentak dan menyadari tubuh mereka terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Masing-masing bangkit, duduk dan selintas saling pandang tanpa berujar sepatah kata pun. Anak lelaki dan perempuan berusia sekitar lima tahun itu sama-sama tak mengerti mengapa di tanah bergelimang lumpur di hadapan mereka juga banyak orang berbaring.
Agam dan Inong mengira, seperti juga mereka, orang-orang yang berbaring itu tak lama lagi pasti akan bangkit. Tapi, setelah ditunggu hingga lewat tengah hari, ternyata tak satu pun di antara mereka yang bangkit. ''Mungkin mereka kelelahan. Kasihan kalau sampai malam tertidur di sini. Aku harus membangunkan mereka.''
Pikiran kanak-kanak Agam menerka sambil melangkah menghampiri tubuh-tubuh yang terbaring itu. Nyata di penglihatannya, lumpur menyelimuti tubuh-tubuh tersebut sehingga tak bisa dia mengenalinya. Inong pun, yang tanpa bicara mengikuti apa yang dilakukan Agam mendapati kenyataan sama.
Perlahan-lahan Agam dan Inong berjongkok serta mengamati sosok tubuh yang terbaring di dekat mereka secara seksama. Dengan sangat berhati-hati keduanya menggoyang-goyang sosok tubuh tersebut. Tak ada reaksi. Sekali lagi mereka coba, tetap saja tanpa reaksi. Ke sosok tubuh lainnya mereka beralih, hasilnya sama saja. Ke yang lainnya lagi, tetap tak ada beda. Terus, bergantian dari satu sosok tubuh ke sosok tubuh lainnya. Hanya lelah yang didapat.
Agam memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sambil memejamkan mata, dia duduk bersandar pada batang sebuah pohon besar di dataran yang agak tinggi. Tak sedikit pun dia hirau terhadap Inong yang tetap mengikutinya dan melakukan seperti yang dia lakukan.
Dalam diam dan memejamkan mata, ingatan Agam berpulang kepada peristiwa yang tadi dirasakannya bagaikan mimpi, hingga akhirnya dia tersentak dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Tak tau dia kenapa tiba-tiba tubuhnya terbujur dan terapung-apung di tengah laut yang maha luas, tanpa sedikit pun membersit rasa takut meskipun di kemahaluasan laut hanya ada dirinya. Malah, air laut yang mengombang-ambingkan tubuhnya dia nikmati layaknya sedang bermain ayunan.
Bersamaan dengan usainya perulangan kenangan itu di benaknya, Agam kembali membuka matanya. Begitu pula Inong yang berada di sebelahnya, tanpa sepengetahuan Agam ternyata juga mengalami hal serupa. Seketika, secara bersamaan kedua kanak-kanak itu saling pandang dan heran.
"Wajahmu penuh lumpur," ujar Inong kepada Agam."Wajahmu juga berlumpur," balas Agam sembari bangkit dan bergegas menuju genangan air di dataran yang rendah, diikuti Inong di belakangnya. Begitu sampai, keduanya membersihkan wajah masing-masing dengan air yang sungguh sangat tak bersih itu. "Inong?!""Agam?!"Terperanjat. Agam dan Inong sama menyapa setelah bisa saling mengenali. Kemudian, di dalam diri masing-masing membuncah pertanyaan demi pertanyaan, berbaur dengan kebingungan yang menggumpal. Apa yang telah terjadi? Dimana ayah, ibu dan adikku? Kemana aku harus berjalan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan mereka? Apa ini yang dibilang kiamat, seperti yang sering diceritakan ayah? Kalau memang kiamat, kenapa kami masih hidup?
Selain berjibun sosok tubuh orang-orang yang terbaring bergelimang lumpur, sisa-sisa bangunan menghadang tatap mata kedua bocah yang selama ini tinggal bersebelahan rumah itu. Di antaranya tinggal puing dan tak sedikit yang telah rata dengan tanah. Pada arah terbenamnya matahari, hanya tampak hamparan tanah membentang maha luas berbatas kaki langit. Seolah ada tenaga gaib yang menggerakkan tangannya, Agam segera meraih tangan Inong dan menggandengnya berjalan ke arah tersebut. Inong pun tak menolak.
Telah entah berapa jauh jarak ditempuh. Sama sekali tak terbersit keinginan untuk berhenti. Terus dan terus berjalan, tanpa secuil pun hinggap rasa lelah, juga tak sebutir pun peluh menempel di tubuh. Bahkan, gumpalan pertanyaan berbaur kebingungan yang sempat mendera tak bersisa sepenggal pun. Berganti dengan kedamaian yang datang dan menyeruak memenuhi relung hati Agam dan Inong.
Namun, tiba-tiba tatap mata Agam menangkap sesuatu yang dirasanya aneh. Segera dia menghentikan langkah sambil tetap menggandeng tangan Inong. Di hadapannya, jauh di batas kaki langit, tampak sebuah titik hitam muncul. Inong pun menyaksikan hal yang sama. Di samping titik hitam itu, muncul lagi satu titik hitam yang lain. Satu lagi bertambah di sebelah titik hitam kedua. Satu lagi di samping yang ketiga dan satu lagi di sebelahnya. Masih juga bertambah di samping yang keempat, di sebelah yang kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan seterusnya dan seterusnya. Terus pula Agam dan Inong mengarahkan tatapannya mengamati pertambahan titik-titik hitam itu, hingga akhirnya menyatu di batas kaki langit.
Perlahan-lahan seluruh titik hitam bergerak naik, mewujud garis tegak lurus, membentuk sebuah lingkaran dan mendesak ke depan. Nyatalah, pemandangan yang semula tampak aneh itu merupakan sosok orang saling berpegangan tangan satu sama lainnya. Semakin nyata pula, lingkaran sosok orang yang tak terhitung jumlahnya, yang sekarang telah teramat dekat dengan Agam dan Inong, semuanya berusia dewasa.
Menghadapi kenyataan itu, Agam dan Inong tak bergeming. ''Jelas sekali, kedua bocah inilah yang dimaksudkan petunjuk yang kita dapatkan itu. Karena, menurut petunjuk itu tinggal ada dua bocah di dunia ini. Laki-laki dan perempuan. Sekarang kita sudah mendapatkannya.''
Agam dan Inong tak hirau dengan apa yang dikatakan salah seorang di antara orang-orang berusia dewasa itu.''Kalau begitu kita harus segera menyelamatkan kedua bocah ini sebelum terlambat,'' usul yang lainnya.''Ya, sebelum malam tiba semuanya sudah harus selesai,'' timpal yang lainnya lagi mengingatkan.Seorang yang tampak lebih tua dari yang lain melanjutkan.''Terlebih dahulu kami mohon maaf. Berdasarkan petunjuk yang kami terima, kami harus menemukan sekaligus menyelamatkan dua orang bocah yang masih tersisa. Menurut petunjuk tersebut, kalau kalian tidak kami selamatkan, bahaya maha dahsyat akan memporak-porandakan perjalanan umat manusia menuju alam keabadian.''Orang itu menarik nafas sejenak.''Petunjuk itu juga menyebutkan, jika kalian dibebaskan melangkah sesuka kalian, pada akhirnya rasa rindu untuk memiliki teman, sahabat atau bahkan pendamping akan mendera hati kalian. Rasa rindu itu awalnya sekadar membujuk, tapi lama kelemaan akan memaksa diri kalian masing-masing untuk memenuhinya. Lantas, begitu kalian sama-sama berhasil memenuhi rasa rindu itu, saat itulah bahaya maha dahsyat akan memulai aksinya. Romantisme yang ada di lubuk hati kalian akan membuat kalian tak mampu membebaskan diri dari penjara kehendak sosok yang awalnya kalian butuhkan sebagai teman, sahabat atau pendamping tersebut.''
Kali ini lebih panjang, kembali orang itu menarik nafas.''Pada akhirnya kalian pun berkomplot dan membelokkan perjalanan umat manusia dari menuju alam keabadian kepada perjalanan tak berbatas serta tanpa kepastian. Kalian akan membelokkan perjalanan umat manusia ke arah yang dilumuri pertumpahan darah tanpa ada yang berani mencegah. Karena, setiap yang berusaha mencegah pasti akan dibenamkan ke dalam kolam darah. Jadi, sekali lagi maafkan kami. Kami harus menyelamatkan kalian, demi keselamatan umat manusia hingga sampai ke alam keabadian.''
Agam dan Inong tetap saja diam. Lingkaran orang-orang berusia dewasa itu perlahan-lahan menyebar dan mengelilingi kedua bocah itu. Serentak mereka merapat, dengan cepat memberangus Agam dan Inong.
Mendadak, bumi yang hanya hamparan tanah maha luas berbatas kaki langit bergoyang. Perlahan-lahan. Sedikit kencang. Bertambah kencang! Semakin kencang! Teramat kencang! Maha kencang! Hingga, langit maha tinggi serasa sejengkal di atas kepala.''Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!''
Rubuh! Lenyap! Apa yang ada menyatu dengan tanah. Ini yang kesekian kalianya. Semua berawal dari entah siapa membawa Agam dan Inong entah kemana.
[Medan, 17 Februari 2005]]

Senyuman untuk Pelangi (Dhika Puspitasari)

Jawapos,Senin, 11 Des 2006,
Senyuman untuk Pelangi
Oleh: Dhika Puspitasari

Langit tampak belum sempurna pagi ini. Sisa tangisan langit, berupa gerimis tipis yang syahdu masih terlihat jelas membiaskan sinar yang mulai menggeliat, menerobos kawanan awan yang berarakan ke utara. Bau embun masih tajam menyengat dan menebarkan perasaan rindu. Entah apa yang dirindukan. Yang pasti, tempat ini begitu asing bagiku, ya sangat asing sekali. Tapi sosok yang duduk di hadapanku ini tak pemah kurasakan asing.Badannya yang dulu tegap kini terkulai lemah bersandar pada sebuah kursi roda yang tampak sangat tua, seolah ingin mengisahkan sejarah yang membuat semua mata menatap iba padanya. Tatapannya kosong, seperti juga harapannya. Perjalanan hidup yang telah dia lewati selalu dihabiskan untuk kebodohan-kebodohan yang tak berarti apa-apa. Namun, setidaknya, dia harus melakukan sesuatu yang berarti meskipun hanya sekali, sebelum kepompong berubah menjadi kupu-kupu, dan gerimis menjadi badai. Sebelum semuanya terlambat.Aku masih duduk tepat di hadapannya, namun tak sekali pun dia memalingkan wajahnya padaku. Tatapannya masih lurus dan kosong memandangi hamparan biru yang luas sebagai rumah malaikat.Tapi... tunggu, aku melihat dia tersenyum. Tepat ketika sebuah pelangi dengan eloknya menari di punggung langit. Sepertinya, ada yang dia isyaratkan melalui senyumannya itu. Tapi apa, entahlah, hanya dia yang tahu."Kenapa tidak kau beritahu saja Seto tentang penyakitmu ini, De?" Lintang berkata dengan serius. "Tidak usah Lin, aku tidak ingin dia jadi khawatir nantinya." Tidak ada jawaban yang diberikan Lintang, dia hanya menghela nafas panjang.Dalam hatinya, dia sangat kecewa pada Seto, yang juga sahabatnya. Lintang tahu tentang apa yang dilakukan Seto selama ini. Sebagai kekasih Dea, Seto tidak menghargai komitmen yang telah mereka buat berdua. Seto sering berbohong pada Dea, dia mengatakan tidak dapat bertemu dengan Dea dengan alasan sibuk dengan tugas-tugasnya.Padahal, dia asyik bermesraan dengan Mira di mal atau tempat lainnya. Dan yang paling menyedihkan, sampai saat ini, Seto tak pernah tahu bahwa Dea mengidap penyakit kanker otak, yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya. Sungguh masih benarkah Seto menganggap bahwa Dea itu kekasihnya.Sampai saat ini juga, Dea tak pernah berniat untuk memberitahukan penyakitnya ini pada Seto. Sebab, dia tidak ingin Seto menjadi khawatir, nantinya. Dea juga mewanti-wanti Lintang untuk melakukan hal yang sama. Sungguh perasaan yang tulus dari seorang perempuan yang tidak tahu bahwa tak ada balasan setimpal atas perasaannya itu. Lintang pun tak pernah tega untuk memberitahukan pada Dea tentang apa yang dia ketahui, bahwa Seto adalah laki-laki yang tak setia.Lintang pernah hampir berkelahi dengan Seto, ketika dia memergoki Seto bermesraan dengan Mira. Seto tidak terima waktu Lintang mengingatkan bahwa dia kekasih Dea. Sampai kini pun, Lintang tak berani menceritakan peristiwa ini pada Dea.Waktu terus berjalan.Siang itu udara sangat panas, matahari seakan murka dan membakari tiap orang yang ditemuinya. Akhirnya, Lintang menemukan Seto, yang dari pagi dia cari ke mana-mana. Lintang mengabarkan pada Seto bahwa Dea masuk rumah sakit karena penyakitnya bertambah parah. Seto terkejut mendengar berita dari Lintang. Dia tidak mengira kalau Dea mengidap penyakit kanker."Kenapa kamu tidak bilang dari dulu Lin, kalau Dea mengidap kanker?""Aku dilarang sama Dea.""Kenapa?""Dea itu sangat sayang sama kamu. Dia tidak ingin kamu jadi khawatir, nantinya."Seto menangis meraung dipelukan Lintang, dia tampak menyesali perbuatannya pada Dea selama ini. Dia telah mengkhianati perasaan yang tulus dari seseorang yang sangat menyayanginya.Setelah peristiwa itu, sikap Seto pada Dea berubah. Dia dengan setia menemani kekasihnya itu. Apapun yang menjadi permintaan Dea, dikabulkan. Sebab, dia ingin menebus rasa bersalahnya di waktu lalu."To, nanti kalau aku udah nggak ada, aku akan sering-sering senyum buat kamu dari atas sana. Pelangi itu sebagai tandanya, kalau aku lagi senyum buat kamu." Dea berkata sembari menunjuk sebuah pelangi yang hadir pada langit yang basah. Seto tak berkata apa-apa, dia mulai tersedu dan mendekap kekasihnya itu erat-erat.Akhirnya, waktu itu datang juga. 11 Mei 2001, pukul 19.00. Dea telah dipanggil kembali oleh Yang Maha Kuasa. Penyakit Dea sudah menggerogoti fungsi organ yang lain dan menyebabkan kematian.Sungguh, berita itu membuat orang-orang yang sayang pada Dea bersedih. Seto tak kuasa menahan tangisnya. Dia benar-benar terpukul. Sebab, dia merasa belum cukup menebus kesalahan. Perasaan berdosa selalu mengikutinya, ke mana pun dia melangkah. Berhari-hari, dia berkubang dalam kesedihan tiada akhir."To, kamu tidak bisa seperti ini terus. Sudah satu bulan sejak kematian Dea, kamu mengurung diri di kamar." Lintang mencoba menghibur sahabatnya itu. Tapi, tak ada jawaban dari Seto. Dia bungkam seribu bahasa."Oh ya To, minggu depan aku berangkat ke Belanda. Ayah menyuruhku melanjutkan kuliah di sana. Kamu bagaimana?" tak ada jawaban dari Seto, dia tetap bungkam seribu bahasa. Lintang sangat sedih melihat keadaan sahabatnya itu. Setelah kematian Dea, Seto terus mengurung diri di kamar, menyesali yang sudah dia lakukan dulu. Sore itu menjadi sangat getir sekali, sunyi, senyap, langit berlumuran warna kemerahan.Gerimis tak pernah berhenti sejak pagi, terus membasahi tanah cokelat yang terhampar. Lelaki itu masih diam seribu bahasa. Sejak pagi tadi, dia hanya menatap kosong ke arah langit yang kini mulai dihiasi semburat warna merah keemasan, seperti menunggu sesuatu."Besok aku harus kembali ke Belanda. Sebab, waktu liburku telah habis. Tapi, aku janji akan menemuimu lagi." Lelaki di hadapanku tak menggubris kata-kata yang baru kuucapkan padanya. Dia masih asyik memandangi langit dengan ekspresi yang tawar. Namun... ah... dia tersenyum lagi, tepat ketika sebuah pelangi hadir di antara gerimis dan sinar lembut mentari yang keemasan.Sepertinya, ada yang dia isyaratkan lewat senyumannya itu. Tapi apa, entahlah. Aku beranjak meninggalkannya sendiri dan berjalan sepanjang koridor dengan perasaan hampa.Akhirnya, aku harus sedikit berlari kecil, ketika melewati pintu gerbang Rumah Rehabilitasi Gangguan Jiwa ini menuju mobil. Sebab gerimis mulai berubah menjadi hujan yang semakin lebat. ***Penulis adalah Mahasiswa Universitas Airlangga

RESTU KIAI SEPUH (Maria M Bhoernomo)

Republika, Minggu, 10 Desember 2006

RESTU KIAI SEPUH
Cerpen Maria M Bhoernomo

PEMILIHAN Gubernur masih dua tahun lagi. Tapi sejak Lebaran lalu rumah Kiai Sepuh sering dikunjungi tokoh-tokoh politik. Mereka datang untuk mendapatkan restu sang kiai untuk meraih kemenangan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Kiai Sepuh tak bisa menolak permintaan mereka. Lagi pula, berdoa dan memberi restu kepada siapa saja tidak akan membuat sang kiai rugi atau bangkrut. Bahkan, doa restunya sering dihargai dengan sejumlah uang dalam amplop yang diletakkan para tamu di atas meja ruang tamu.
Hanya saja masalah politik sering memaksa sang kiai untuk bersikap mendua. Misalnya, kiai bisa saja sama-sama mendoakan dan merestui dua rombongan tamunya yang berlawanan secara politik. Karena itu, kiai sering merasa bersalah jika diminta mendoakan dan merestui mereka yang berlaga dalam ranah politik.
Kiai Sepuh juga sering membayangkan, betapa doa dan restunya akan bertarung seperti ayam jago, jika telah diberikan kepada dua tokoh politik yang saling memperebutkan kemenangan politiknya. Lucu, dan konyol. Tapi apa boleh buat, sang kiai tidak bisa menolak siapa saja yang datang meminta doa dan restunya untuk keperluan yang jelas-jelas tidak haram.
Sebaliknya, sang kiai akan menolak tegas jika diminta untuk mendoakan dan merestui perbuatan haram. Misalnya, ketika judi togel masih marak, seorang pedagang yang sedang bangkrut datang meminta nomor. Jika nomor yang dimintanya keluar, dan dia memperoleh banyak uang, sang kiai akan diberi bagian 50 persen.
''Berjudi itu haram!'' tegas Kiai Sepuh kepada pedagang itu.Lalu, pedagang itu pamit pulang. Dan, setibanya di rumah, ucapan Kiai Sepuh segera diramal. Cara meramalnya sembarangan. Jumlah aksara kata-kata yang diucapkan sang kiai dihitung, lalu jam berapa pada saat sang kiai mengucapkannya. Jadilah sederet nomor, lalu dipasang, dan ternyata keluar.
Dengan membawa sekantong uang hasil kemenangannya memasang nomor togel, pedagang itu datang lagi menghadap Kiai Sepuh.
''Maaf, Kiai. Saya datang memenuhi janji. Saya telah menang togel, dan ini bagian Kyai. Saya mohon Kiai bersedia menerimanya,'' ujar pedagang itu sambil meletakkan sekantong uang di atas meja.
Kiai Sepuh menolak tegas pemberian itu, ''Itu uang haram. Aku tidak mau menerimanya.''
Pedagang itu kemudian pamit pulang dengan tersipu-sipu. Dan, setibanya di rumah, ucapan Kiai Sepuh yang menolak sekantong uang itu diramal lagi. Dan, lagi-lagi hasil, ramalannya jitu. Kembali ia mendapatkan banyak uang. Tapi, ia tidak berani menghadap sang kiai lagi. Dan, karena pedagang itu merasa kagum kepada Kiai Sepuh, lalu menceritakan kekagumannya itu kepada banyak orang.
Akibatnya, banyak orang kemudian mencoba datang menghadap Kiai Sepuh dengan tujuan mendapatkan kesuksesan yang diidam-idamkan. Ada yang ingin usahanya sukses. Ada yang ingin segera mendapatkan jodoh. Ada yang ingin sembuh dari penyakit yang dideritanya. Ada yang ingin menjadi kepala desa, naik jabatan, ada pula yang ingin punya keturunan.
Kiai Sepuh semakin populer. Semakin banyak orang datang dari berbagai daerah untuk meminta doa dan restunya. Siang malam Kiai Sepuh menghabiskan waktunya untuk menerima tamu. Tugasnya mengajar di pesantren yang dipimpinnya sering terlupakan. Tugas itu kemudian diserahkan kepada santri senior.
''Menurut ajaran agama, kita harus menghormati tamu,'' ujar Kiai Sepuh ketika istrinya mengingatkannya untuk menunaikan tugasnya mengajar para santri.
''Sebaiknya waktu Kiai dibagi-bagi. Misalnya, pada jam sekian menerima tamu, pada jam sekian mengajar santri-santri. Tanpa dibagi, seluruh waktu bisa habis untuk menerima tamu,'' saran istrinya.
Kiai Sepuh tersenyum. Istrinya benar-benar bijaksana. Saran itu menyimpan maksud agar waktunya juga dibagi untuk istrinya. Sejak banyak tamu berdatangan siang dan malam, memang istrinya sering tidak diperhatikan. Padahal, istrinya masih muda, baru berumur 35 tahun. Istrinya tentu membutuhkan perhatian dan kehangatan kasih sayangnya.
Lalu Kiai Sepuh membatasi jam berkunjung untuk tamu. Di pintu pagar, dipasang papan pengumuman bahwa Kyai hanya menerima tamu pada siang sehabis lohor sampai sore. Sepanjang pagi sang kiai mengajar santri-santri, malamnya bercengkerama dengan istri.
Tapi, rupanya papan pengumuman itu percuma saja. Para tamu tetap berdatangan sepanjang hari. Mereka rela antre di luar pagar, di sepanjang jalan. Mobil dan sepeda motor diparkir berderet-deret. Warung-warung tenda bermunculan untuk melayani anteran para tamu yang datang dari jauh.
Kiai Sepuh dan istrinya tidak tega melihat banyak tamu yang antre di luar pagar dan di sepanjang jalan. Lalu papan pengumuman itu dibuang. Biarlah seluruh waktunya habis untuk menerima tamu. Dan karena usianya sudah tua, Kiai Sepuh jatuh sakit. Sekujur tubuhnya lumpuh. Anehnya, meskipun sakit, sang kiai tetap didatangi banyak tamu yang meminta doa restu untuk berbagai keperluan.
Sambil berbaring lunglai, Kiai Sepuh berdoa dan merestui tamu-tamunya. Dan, mungkin karena mulutnya terlalu capek, akhirnya sang kiai menderita bisu. Tak ada suara yang keluar ketika sedang berdoa dan merestui tamu-tamunya. Dan mungkin karena matanya juga terlalu lelah, akhirnya sang kiai selalu terpejam seperti sedang tidur.
Namun, meskipun Kiai Sepuh selalu tampak tidur nyenyak, banyak tamu tetap berdatangan meminta doa dan restunya. Mereka merasa lega jika sudah bisa melihat sosok sang kiai yang terbaring lunglai dengan mata terpejam di kamarnya yang selalu terbuka lebar-lebar siang dan malam itu.
Dan, mungkin karena tidak bisa benar-benar tidur nyenyak, karena sepanjang waktu selalu mendengar ucapan salam dari mulut tamu-tamu yang datang, Kiai Sepuh akhirnya meninggal dunia.
Sesuai dengan wasiatnya, jenazah Kiai Sepuh dimakamkan di halaman rumahnya.
Kematian Kiai Sepuh ternyata tidak membuat sepi rumahnya. Justru sejak wafat, rumah dan makam sang kiai semakin ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Banyak yang datang untuk berdoa sambil menangis meminta macam-macam keperluan pribadi.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, semasa hidupnya Kiai Sepuh telah berhasil mendoakan orang-orang penting yang sekarang menjadi menteri, gubernur, bupati, pejabat-pejabat tinggi, dan pengusaha-pengusaha besar. Konon, mereka pernah datang meminta doa dan restu sang kiai.
Cerita dari mulut ke mulut itu benar-benar dipercaya banyak orang. Kecuali orang yang punya keyakinan bahwa nasib manusia sudah tersurat sejak ruhnya ditiup ke dalam tubuhnya ketika masih berupa janin di dalam rahim ibu.
Menjelang masa kampanye Pilkada, ada rombongan pengurus partai politik datang ke makam sang kiai. Mereka kemudian menemui istri dan anak-anak Kiai Sepuh di rumahnya.
''Kami berencana memugar makam Kiai Sepuh,'' ujar pimpinan rombongan. ''Bentuk kompleks bangunan makam Kiai nantinya akan seperti kompleks makam Nabi di Madinah. Seluruh dananya akan ditanggung Pemda Provinsi.''
Istri dan anak-anak sang Kiai menolak rencana pemugaran itu. Alasannya, mereka tidak ingin melihat banyak orang menangis meratap-ratap ketika berziarah di makam Kiai Sepuh. Selain itu, mereka tidak ingin makam sang Kiai berbau politik. Sebab, bisa saja makam Kiai Sepuh akan dipugar lagi dan dipugar lagi untuk kepentingan politik.
Di tengah masyarakat, rencana pemugaran makam Kiai Sepuh menjadi gunjingan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro berdalih bahwa sebaiknya makam Kiai Sepuh memang dipugar agar lebih nyaman bagi peziarah. ''Sebaiknya memang dipugar sebaik-baiknya. Kalau perlu dilengkapi penginapan, kantin dan pertokoan.''
Yang kontra berdalih bahwa makam Kiai Sepuh tidak perlu dipugar dengan dana yang diambil dari kas negara. ''Lagi pula, di jaman modern ini tidak relevan lagi uang negara digunakan untuk memugar sebuah makam, karena masih sangat banyak rakyat yang tidak punya rumah. Lebih baik uang negara digunakan untuk membangun rumah sederhana untuk rakyat.''Griya Pena Kudus, 2006

ARTI SPESIAL (Graccy Martha R)

Jawapos,Senin, 18 Des 2006,

ARTI SPESIAL
Oleh: Graccy Martha R.

Seluruh tubuhku pegal. Setelah hampir dua jam duduk di atas kursi kayu sederhana. Aku menunggumu dan kau belum juga menampakkan batang hidung. Di mana kau sekarang? Kucoba menghubungi ponselmu. Tapi, hanya terdengar nada sambung yang membosankan. Kau lupa membawa ponsel atau sengaja tidak menjawab telponku? Kau benar-benar membuatku kecewa, juga bingung, dan khawatir.Kenapa harus hari ini kau mengecewakanku? Meski di hari lain kau tidak jarang mengecewakanku, tapi setidaknya tidak untuk hari ini. Seharusnya, kau membuatku amat senang. Hanya satu hari ini saja, apa susahnya? Kau kan menyayangiku. Bukannya aku menuntut darimu, tapi jika kau tidak bisa membuatku senang dengan kejutan-kejutan kecil atau hal-hal menyenangkan lainnya, setidaknya kau tidak mengecewakanku.Yaah... tepat hari ini, genap sudah 17 tahun aku hidup di dunia. Kata orang, ulang tahun yang ke-17 itu sangat spesial bagi para gadis. Tidak sedikit para gadis yang merayakannya besar-besaran. Tapi, aku berbeda. Orang tuaku memang telah menawarkan untuk mengadakan pesta meriah. Aku menolak. Kurasa, itu berlebihan. Aku lebih memilih untuk merayakannya berdua saja denganmu. Kupikir, di usia yang spesial harus dirayakan dengan orang yang spesial pula. Aku ingin bersamamu seharian penuh. Pasti akan sangat berkesan, tak terlupakan. Siapa sangka kenyataan berkata lain.Angin berhembus kencang, menertawakanku. Aku merasa rapuh tak berarti. Kulambaikan tangan pada seorang karyawati dan membayar dua gelas minuman yang tadi kuminum seorang diri. Tadi, kupikir kau datang terlambat. Tapi, ternyata tidak. Kau malah tidak datang. Sehingga aku memutuskan untuk pergi dari sini.Langkahku terayun gontai di atas bebatuan, menuju tempat di mana aku meninggalkan kendaraanku. Lelah, letih, lesu, tak ada gairah. Kenapa aku tidak seperti gadis- gadis lain yang tersenyum bahagia di hari ulang tahunnya. Apalagi, di usia yang dianggap sangat spesial. Apa ulang tahunku juga akan spesial hari ini?Apa salahku sampai kau tega mengacaukannya? Baru tadi pagi kau menelpon, mengucapkan selamat ulang tahun dan berjanji akan datang tepat waktu siang ini. Namun, apa buktinya?Jika kau berhalangan datang, seharusnya kau mengabariku. Minta maaflah paling tidak. Tapi kau sama sekali tidak melakukannya. Aku menghubungi ponselmu tapi hasilnya nihil. Kau menghilang begitu saja bagai di telan bumi. Kau sangat menjengkelkan.Aku berjalan lambat sambil terus melamun. Langkahku terhenti melihat kerumunan tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku melangkah lebih dekat. lngin tahu apa yang terjadi. Rupanya telah terjadi kecelakaan mobil. Keadaannya sangat berantakan. Kaca mobil yang pecah, berserakan di sana- sini. Sebuah truk yang rusak parah di bagian depannya dan ... ASTAGA! Detik berikutnya, aku amat terkejut. Sebuah mobil lain yang juga hancur, tapi aku masih dapat mengenalinya dengan baik. Mobilmu!Tak kuasa, aku menahan air mata yang perlahan mengalir dari sudut mataku. Kudekati mobilmu seakan tidak percaya. Pintu sopirnya sudah hancur. Kacanya pun pecah berkeping- keping. Sehingga bisa kulihat dengan mudah ke dalamnya. Aku terkejut lagi, namun juga terharu begitu melihat isi mobilmu. Itu pasti hadiah ulang tahun untukku. Kertas kado transparan membungkus rapi sebuah boneka yang tergeletak di lantai mobil; sekotak cokelat favoritku, seikat bunga mawar, sama seperti yang kau berikan padaku di hari kau menyatakan cintamu, terakhir sebuah kado kecil yang cantik walau pitanya sudah agak robek. Kau baik sekali menyiapkan semuanya untukku. Namun, apa mau dikata, Tuhan berkehendak lain.Dari orang- orang di sekitar situ, aku tahu bahwa kecelakaan itu terjadi sekitar dua jam lalu. Sopir truk itu sedang mabuk sehingga menyetir dengan sangat kencang tak terkendali dan menabrak mobilmu. Kata mereka, pengendara mobil sedan itu dibawa ke rumah sakit beberapa menit setelah kecelakaan terjadi. Itu pasti kau. Sopir truk yang menabrak mobilmu hanya mengalami luka ringan Sedangkan petugas derek baru akan tiba sebentar lagi karena terjebak macet dan jauh dari sini.Setelah tahu ke rumah sakit mana kau dibawa, aku segera berlari ke arah mobilku. Semenit kemudian, aku sudah dalam perjalanan menuju ke sana. Kukemudikan mobilku sekencang mungkin. Aku sadar itu berbahaya, tapi kali ini aku tak peduli. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padamu? Bagaimana kalau kau kekurangan banyak darah, dan tidak ada orang yang golongan darahnya sama denganmu. Karena golongan darahmu memang jarang ditemui. Tapi, aku bisa memberi sebanyak yang kau inginkan, sebab golongan darah kita sama.Di jalan perasaanku benar- benar kalut. Langit yang tadi cerah tiba-tiba bcrubah gelap, segelap hatiku saat ini. Hujan pun turun deras diiringi sambaran kilat. Seakanakan meneriakiku agar melaju lebih kencang lagi. Tuhan..kenapa semua ini harus terjadi... kenapa aku malah mendapatkan masalah yang sangat berat di hari ulangtahunku. Inikah yang dimaksud ulangtahun spesial? Semuanya terjadi begitu saja dan rasanya aku tidak siap menerimanya. Mobilku melaju semakin kencang di jalanan licin. Aku semakin kacau. Merasa sangat bersalah telah berpikir yang tidak- tidak tentangmu. Timbul niat untuk mengucapkan beribu kata maaf di depanmu saat bertemu nanti. Namun, entah mengapa, rasanya tidak akan sempat, apa kau akan secepat itu meninggalkanku atau....BRAAKKK!! Mobilku seketika terhenti. Kepalaku terbentur keras pada kaca di depanku. Seketika kurasakan pusing yang begitu hebatnya. Kepalaku sakit luar biasa. Lalu aku merasa wajahku basah, berlinang darah yang mengucur dcras dari kepalaku. Sempat kulihat sebatang pohon berdiri tegak di depan mobilku, sampai akhirnya mataku tertutup dengan sendirinya. Tapi, aku masih bernapas... dengan susah payah. Kudengar beberapa teriakan dan suara derap langkah kaki yang perlahan mendekatiku. Lalu sebuah suara yang tidak asing bagiku. Suara yang aku harap sudah kudengar dari tadi."Rin... astaga Karin, kenapa jadi begini. Maafkan aku Rin, tadi aku sudah hampir sampai ke tempat kita janjian bertemu. Lalu aku mendapat telepon dari rumah sakit yang mengabarkan Mang Diman, sopirku, mengalami kecelakaan saat akan menjemput ibuku. dengan mengendarai mobilku. Aku sendiri kaget karena saat akan berangkat, mobilku sudah tidak ada. padahal di dalamnya sudah kusiapkan beberapa kejutan untukmu. Kupikir lebih baik aku naik taksi saja daripada terlambat, sampai aku mendapat kabar mengejutkan itu. Saat akan menghubungimu, aku baru sadar kalau ponselku tertinggal. Rin, jangan tinggalkan aku. Tetaplah hidup. Bertahanlah, Rin. Aku mohon! Apa kau mendengarku? Jawab, Rin! Selarnat ulang tahun Rin..."Lalu, aku mendengar suara itu menangis. Yang makin lama makin samar hingga tak dapat kudengar lagi. Lalu aku menghembuskan napas terakhir. lnikah arti spesial? ****penulis adalah pelajar SMAN 1 Surabaya